Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Revisi UU TNI Disahkan, Reformasi Berada di Persimpangan

Ilustrasi : (Tiara Mauliva/Jurista)

Pemerintah kembali menyakiti rakyat dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Rancangan undang-undang ini memunculkan kekhawatiran di masyarakat, terutama terkait potensi kembalinya dwifungsi militer yang seharusnya telah dihapus sejak reformasi. Masyarakat mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam proses revisi undang-undang ini.  

Sidang pembahasan revisi Undang-Undang TNI berlangsung pada 14–16 Maret 2025 di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat. Keputusan untuk menggelar sidang di lokasi tersebut menimbulkan kesan buruk karena bertentangan dengan pernyataan Presiden Prabowo tentang efisiensi anggaran. Selain itu, proses legislasi ini tidak dilakukan secara inklusif. Aspirasi masyarakat sipil yang menolak revisi ini diabaikan, bahkan mereka mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari aparat keamanan.  

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Rizky Argama, menilai bahwa secara umum revisi Undang-Undang TNI ini telah menyimpang dari cita-cita reformasi, ketentuan konstitusi, dan prosedur legislasi.  

Salah satu poin utama dalam revisi ini adalah perluasan peran TNI dalam urusan sipil. Revisi Undang-Undang TNI mengusulkan agar prajurit aktif dapat menduduki 16 jabatan di kementerian dan lembaga sipil, termasuk di lembaga-lembaga strategis seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kejaksaan Agung, dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).  

Kebijakan ini bertentangan dengan semangat reformasi, yang mewajibkan perwira aktif TNI untuk mengundurkan diri sebelum menduduki jabatan sipil. Dalam perspektif akademik, Prof. Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional dan militer, menekankan bahwa profesionalisme TNI harus dikedepankan dalam konteks pertahanan negara tanpa memperluas cakupan peran mereka dalam pemerintahan sipil, yang seharusnya berada di bawah otoritas institusi non-militer.  

Revisi ini juga memperluas tugas TNI dalam operasi non-militer. Ada tiga tugas tambahan yang diusulkan, yaitu menangani ancaman siber, menyelamatkan WNI di luar negeri, dan memberantas penyalahgunaan narkotika. Namun, kebijakan ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga lain, seperti Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) serta Badan Narkotika Nasional (BNN).  

Pertanyaannya, apakah kebijakan ini benar-benar mendesak? Mengapa tidak mempertimbangkan potensi ketimpangan antar lembaga serta kewenangan yang tumpang tindih?  

Ketentuan mengenai batas usia pensiun prajurit TNI juga mengalami perubahan dalam revisi ini. RUU mengatur bahwa batas usia pensiun ditentukan berdasarkan pangkat, di mana jenderal bintang empat dapat bertugas hingga usia 63 tahun dan masih memungkinkan perpanjangan berdasarkan keputusan presiden. Kebijakan ini berpotensi menghambat regenerasi dalam tubuh TNI.  

Pemerintah dan DPR harus mempertimbangkan kembali revisi Undang-Undang TNI ini dengan mengedepankan prinsip transparansi, supremasi sipil, dan akuntabilitas. Proses legislasi yang inklusif harus dipastikan agar kebijakan baru ini tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum yang demokratis serta kepentingan nasional.


Penulis : Saufy Hakim Fahrozi
Editor : Fatih Rahman